Kamis, 20 Januari 2011

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SOLUSIO PLASENTA




A.    Konsep Dasar Penyakit
I.              Pengertian
         Solusio plasenta (abruption plasenta atau accidental haemorage) adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal pada korpus uteri setelah kehamilan 20 minggu atau sebelum janin lahir (file:///H:/lp-dan-askep-solusio-plasenta.html).
         Abdul Bari Saifuddin mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/05/askep-solusio-plasenta.html).

II.            Epidemiologi
         Insiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam 500-750 persalinan (11). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya (8).
         Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500 persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (2). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi (11). Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta (13).
         Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis, mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (5).
         Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan (0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan (14).

III.          Etiologi
         Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
1.      Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia dapat menyebabkan solution plasenta. Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik dan sisanya hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan. Dapat terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi pada ibu.
2.      Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
-  Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
-  Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
-  Trauma langsung, seperti terjatuh atau terkena tendangan
3. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPNCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.


4.      Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar antara 13-35%.
5.      Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai dengan 25% pada ibu yang merokok ≤ 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya
6.      Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta sebelumnya.
7.      Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan.

IV.         Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat.
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.

V.           Klasifikasi
Menurut derajat lepasnya plasenta, solusio plasenta diklasifikasikan menjadi:
a.       Solusio plasenta partsialis
Bila hanya sebagaian plasenta terlepas dari tepat pelekatnya.
b.      Solusio plasenta totalis
Bila seluruh plasenta sudah terlepas dari tempat pelekatnya.
c.       Prolapsus plasenta
Bila plasenta turun kebawah dan dapat teraba pada pemeriksaan dalam.




Menurut derajatnya,  solusio plasenta dibagi menjadi :
a.        Solusio plasenta ringan
Ruptur sinus marginalis atau terlepasnya sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak akan menyebabkan perdarahan pervaginan berwarna kehitaman dan sedikit. Perut terasa agak sakit atau terus menerus agak tegang. Bagian janin masih mudah diraba.
b.       Solusio plasenta sedang
Plasenta telah terlepas lebih dari seperempat tanda dan gejala dapat timbul perlahan atau mendadak dengan gejala sakit terus menerus lalu perdarahan pervaginan. Dinding uterus teraba tegang terus menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin susah diraba serta bunyi jantung  janin susah didengar. Walaupun perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat
c.        Solusio plasenta berat
Plasenta telah lepas dari dua pertiga permukaan disertai penderita shock. Terjadi sangat tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan shock dan janinnya telah meninggal. Uterus teraba sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri.

VI.         Gejala Klinis
a.       Perdarahan biasanya pada trimester ketiga, perdarahan pervaginan berwarna kehitam-hitaman yang sedikit sekali dan tanpa rasa nyeri sampai dengan yang disertai nyeri perut, uterus tegang, perdarahan pervaginan yang banyak, syok dan kematian janin intra uterin.
b.      Tanda vital dapat normal sampai menunjukkan tanda syok.
c.       Nyeri tekan uterus dan tegang, bagian-bagian janin yang sukar dinilai, denyut jantung janin sulit dinilai / tidak ada, air ketuban berwarna kemerahan karena tercampur darah.



VII.       Pemeriksaan Diagnostik
a.       Pemeriksaan laboratorium
-            Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan leukosit.
-            Pemeriksaan laboratorium darah : hemoglobin, hemotokrit, trombosit, waktu protombin, waktu pembekuan, waktu tromboplastin, parsial, kadar fibrinogen, dan elektrolit plasma.
b.      Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain :
- Terlihat daerah terlepasnya plasenta
- Janin dan kandung kemih ibu
- Darah
- Tepian plasenta
c.       Kardioktokgrafi : untuk mengetahui kesejahteraan janin

VIII.     Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu :
a.        Syok hemoragik
b.       Gagal ginjal. Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio plasenta dan pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
c.       Kelainan pembekuan darah. Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh hipofibrinogenemia.
d.      Apoplexi uteroplacenta (Uterus Couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah perimetrium dan terkadang  juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak, tergantung pada kesanggupannya dalam membantu menghentikan perdarahan.
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin:
1.      Fetal distress
2.      Gangguan pertumbuhan/perkembangan
3.      Hipoksia dan anemia
4.       Kematian

IX.          Penatalaksanaan
a.       Konservatif
 Menunda pelahiran mungkin bermanfaat pada janin masih imatur serta bila solusio plasenta hanya berderajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak menjamin lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga fungsi plasenta yang masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus di anggap kontra indikasi pada solusio plasenta yang nyata secara klinis.
b.      Aktif
Pelahiran janin secara cepat yang hidup hampir selalu berarti seksio caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena ia mengalami hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga tidak dapat di atasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif atau terdapat penyulit obstetric yang menghalangi persalinan pervaginam.
B.      Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
I.             Pengkajian
a.       Identitas klien secara lengkap
b.      Keluhan utama
-          Pasien mengatakan perdarahan yang disertai nyeri
-          Rahim keras seperti papan dan nyeri tekan karena isi rahim bertambah dengan dorongan yang berkumpul dibelakang plasenta, sehingga rahim tegang.
-           Perdarahan yang berulang-ulang.
c.       Riwayat penyakit sekarang
Darah terlihat merah kehitaman karena membentuk gumpalan darah, darah yang keluar sedikit banyak, terus menerus. Akibat dari perdarahan pasien lemas dan pucat. Sebelumnya biasanya pasien pernah mengalami hypertensi esensialis atau pre eklampsi, tali pusat pendek trauma, uterus yang sangat mengecil (hydroamnion gameli) dll.
d.      Riwayat penyakit masa lalu
Kemungkinan pasien pernah menderita penyakit hipertensi / pre eklampsi, tali pusat pendek atau trauma uterus .
e.       Riwayat psikologis
Pasien cemas karena mengalami perdarahan disertai nyeri, serta tidak mengetahui asal dan penyebabnya.
f.       Pemeriksaan fisik
1.      Keadaan umum
-          Kesadaran : composmetis s/d apatis
-           Postur tubuh : biasanya gemuk
-          Raut wajah : biasanya pucat
2.      Tanda-tanda vital
-          Tensi : normal sampai turun (syok)
-          Nadi : normal sampai meningkat (> 90x/menit)
-          Suhu : normal / meningkat (> 37o c)
-           RR : normal / meningkat (> 24x/menit)

3.      Pemeriksaan cepalo caudal
-           Kepala : kulit kepala biasanya normal / tidak mudah mengelupas rambut biasanya rontok / tidak rontok.
-          Muka : biasanya pucat, tidak oedema ada cloasma
-          Hidung : biasanya ada pernafasan cuping hidung
-          Mata : conjunctiva anemis
-          Dada : bentuk dada normal, RR meningkat, nafas cepat dan dangkal
-          Abdomen
Inspeksi : perut besar (buncit), terlihat etrio pada area perut, terlihat linea alba dan ligra
Palpasi rahim keras, fundus uteri naik
Auskultasi : tidak terdengar DJJ, tidak terdengar gerakan janin.
-           Genetalia
Hiperpregmentasi pada vagina, vagina berdarah / keluar darah yang merah kehitaman, terdapat farises pada kedua paha / femur.
-          Ekstimitas
Akral dingin, tonus otot menurun.
g.      Pemeriksaan Penunjang
-           Darah : Hb, hemotokrit, trombosit, fibrinogen, elektrolit.
-          USG untuk mengetahui letak plasenta,usia gestasi, keadaan janin.
-          Kardioktokgrafi : untuk mengetahui kesejahteraan janin

II.          Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan perfusi jaringan b.d.  perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , akral dingin , Hb turun , muka pucat, dan lemas .
2.      Risiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .
3.      Nyeri akut b.d.  kontraksi uterus ditandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus

4.      Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien mengenai keadaan patologi yang dialaminya .
5.      Risiko  terjadinya shock hemoragik b.d. perdarahan

III.       Rencana Keperawatan

No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Keperawatan
Rasional
1.
Gangguan perfusi jaringan b.d.  perdarahan ditandai dengan conjungtiva anemis , akral dingin , Hb turun , muka pucat, dan lemas .

Setelah diberikan askep, diharapkan perfusi jaringan pasien adekuat, dengan kriteria hasil :
-          Conjunctiva tidak anemis
-          Akral hangat
-           Hb normal
-          Muka tidak pucat, dan pasien tidak lemas.
1.      Monitor tanda tanda vital
TD, frekuensi nadi yang rendah, frekuensi RR dan suhu tubuh yang tinggi menunjukkan gangguan sirkulasi darah
2.      Observasi tingkat pendarahan setiap 15-20 menit
Mengantisipasi terjadinya shock
3.      Catat intake dan output
Produksi urin yang kurang dari 30 ml/jam menunjukkan penurunan fungsi ginjal
4.       Kolaborasi dalam pemberian terapi infuse isotonik
Cairan infus isotonic dapat mengganti volume darah yang hilang akibat pendarahan
5.       Kolaborasi dalam pemberian tranfusi darah apabila Hb rendah
Tranfusi darah dapat menggan volume darah yang hilang akibat pendarahan
2.
Risiko tinggi terjadinya letal distress berhubungan dengan perfusi darah ke plasenta berkurang .

Setelah diberikan askep, diharapkan tidak terjadi fetal distress, dengan kriteria hasil:
-          DJJ normal/terdengar
-          Adanya pergerakan bayi
-          Bayi lahir selamat

1.       Jelaskan risiko terjadinya distress janin/kematian janin pada ibu
Memberikan penjelasan mengenai  risiko terjadinya distress janin pada klien membuat klien kooperatif pada setiap tindakan yang akan diberikan
2.      Observasi perubahan frekuensi dan pola DJ janin
Penurunan frekuensi plasenta mengurangi kadar oksigen janin sehingga menyebabkan perubahan frekuensi jantung janin
3.      Berikan O2 10-12 liter dengan masker jika terjadi tanda-tanda fetal distress
Meningkatkan supali oksigen janin
3.
Nyeri akut b.d.  kontraksi uterus ditandai terjadi distress / pengerasan uterus , nyeri tekan uterus

Setelah diberikan askep, diharapkan klien dapat beradaptasi dengan nyeri yang dideritanya, dengan kriteria hasil :
-         Klien dapat melakukan tindakan untuk mengurangi nyeri.
-         Klien kooperatif dengan tindakan yang diberikan

1.      Jelaskan penyebab nyeri pada klien
Memberikan informasi mengani penyabab nyeri yang dideritanya akan membuat klien kooperatif dengantindakan yang akan diberikan
2.      Ajarkan teknik relaksasi distraksi pernapasan
Teknik relaksasi distraksi pernapasan dapat mendorong klien relaks dan memberikan klien cara mengatasi dan mengontrol tingkat nyeri
3.      Berikan posisi yang nyaman (miring ke kiri / kanan)
Posisi miring mencegah penekanan pada vena cava
4.      Berikan teknik relaksasi massage pada perut dan punggung
Meningkatkan relaksasi dan meningkatkan kooping dan kontrol klien terhadap nyeri
5.      Libatkan suami dan keluarga dalam tindakan pengontrolan nyeri
Melibatkan suami dan keluarga dapat memberikan dukungan mental kepada klien
6.      Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik
Obat analgetik dapat mengurangi nyeri yang dirasakan klien dengan memblok impuls nyeri
4.
Cemas b.d. kurang terpapar informasi klien mengenai keadaan patologi yang dialaminya
Setelah diberikan askep, diharapkan klien tidak cemas dan dapat mengerti tentang keadaannya, dengan kriteria hasil :
-         Klien melaporkan cemas berkurang
-         Klien tampak tenang dan tidak gelisah
1.      Anjurkan klilen untuk mengemukakan hal-hal yang dicemaskan
Mengungkapkan perasaan tentang hal-hal yang dicemaskan dapat mengurangi beban pikiran klien
2.      Beri penjelasan tentang kondisi janin
Mengurangi kecemasan klien mengenai kondisi janinnya
3.      Beri penjelasan tentang kondisi klien
Mengurangi kecemasan klien mengenai kondisinya
4.      Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan memberi dukungan kepada klien
Dukungan keluarga dapat memberikan rasa aman kepada klien dan mengurangi kecemasan klien
5.      Anjurkan penggunaan/kontinuitas teknik pernapasan dan latihan relaksasi.
Memberikan perasaan rileks sehingga dapat menurunkan kecemasan klien
5.
Risiko  terjadinya shock hemoragik b.d. perdarahan

Setelah diberikan askep, diharapkan shock hipovolemik tidak terjadi, dengan kriteria hasil :
-        Perdarahan berkurang
-        TTV normal
-        Kesadaran komposmentis

1.      Kaji pendarahan setiap 15-30 menit
Mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin.
2.      Oservasi TTV setiap 15 menit dan apabila TTV normal, observasi TTV dilakukan setiap 30 menit
Mengetahui kondisi klien dan untuk mengetahui adanya gejala syok sedini mungkin
3.      Awasi adanya tanda-tanda syok, pucat, keringat dingin, dan kepala pusing.
Mendeteksi adanya gejala syok sedini mungkin
4.      Kolaborasi dalam pemberian terapi cairan
Mempertahankan volume cairan sehingga sirkulasi bisa adekuat










IV.       Evaluasi
No. Dx
                                                               Evaluasi            
1
Perfusi jaringan pasien adekuat
2
Fetal distress tidak terjadi
3
Klien dapat mengontrol nyeri yang dideritanya
4
Cemas klien berkurang atau hilang
5
Shock  hipovolemik tidak terjadi














DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. (2009). Askep Solusio Plasenta. (Akses tanggal 16 Oktober 2010). http://materi-kuliah-akper.blogspot.com/2010/05/askep-solusio-plasenta.html
Anonimous. (2009). Solusio Plasenta. (Akses tanggal 16 Oktober 2010). http://askep-askeb.cz.cc/2010/03/solusio-plasenta.html#axzz0y6Pwti9X
Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Limas, Endri. (2010). Askep dan LP Solusio Plasenta. (Akses tanggal 16 Oktober 2010). file:///H:/lp-dan-askep-solusio-plasenta.html
Mansjoer, Arif. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarata : EGC.
NANDA, 2007. Nursing Diagnoses : Definition and Clssification 2007 – 2008, NANDA
International, Philadephia.